Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah bawaan. Gangguan ini menyebabkan penyandang hemofilia mengalami perdarahan yang lebih lama dan sulit untuk dihentikan. Gangguan ini menyebabkan penyandang hemofilia mengalami perdarahan yang lebih lama dan sulit untuk dihentikan. Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan kekurangan faktor IX. Kejadian hemofilia A diperkirakan terjadi pada sekitar 1 dari 5.000-10.000 kelahiran bayi laki-laki, sedangkan hemofilia B terjadi sekitar 1 dari 30.000-50.000 kelahiran bayi laki-laki. Diperkirakan terdapat sekitar 400.000 pasien hemofilia di seluruh dunia. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 281 juta jiwa, di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 28.000 pasien hemofilia. Namun data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bulan Juni 2024 menunjukkan baru 13% pasien terdiagnosis hemofilia (3.685 penyandang hemofilia di seluruh Indonesia). Banyak faktor yang mungkin menyebabkan masih rendahnya jumlah ini, seperti kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hemofilia, kurangnya tenaga medis dan paramedis terlatih, hingga fasilitas pemeriksaan laboratorium yang tidak memadai. Diagnosis hemofilia ditegakkan berdasarkan gejala klinis perdarahan dan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi gangguan pembekuan darah yaitu PT, APTT, dan kadar faktor VIII dan IX. Hingga saat ini pemeriksaan kadar faktor VIII dan IX hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit provinsi.
Penanganan hemofilia idealnya dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai bidang keahlian medis, meliputi bidang hematologi anak dan dewasa, bedah ortopedi, patologi klinik, gigi, psikiatri, rehabilitasi medik, perawat, radiologi, dan unit transfusi darah serta melibatkan relawan. Tata laksana komprehensif akan menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta memberikan luaran yang lebih baik. Saat ini tim pelayanan terpadu hemofilia (TPTH) telah terbentuk secara resmi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak tahun 1997. Tim ini perlu dibentuk di seluruh rumah sakit provinsi. Pemberian faktor pembekuan darah sebagai pengobatan utama pada hemofilia juga masih merupakan tantangan yang besar karena kebutuhan biaya yang sangat besar, ketersediaan faktor pembekuan yang belum merata di semua daerah, serta dukungan pembiayaan dari pemerintah yang masih terbatas.
Pasien hemofilia yang tidak mendapat pengobatan memadai akan mengalami berbagai komplikasi serius, meliputi gangguan otot dan sendi (muskuloskeletal), perdarahan organ dalam, dan komplikasi pasca transfusi darah. Komplikasi gangguan otot dan sendi (muskuloskeletal) dapat berujung pada cacat fisik permanen. Penelitian tahun 2002, pada pasien hemofilia berusia kurang dari 18 tahun di RSCM menunjukkan angka kejadian hemofilia artropati (kerusakan sendi permanen) sebesar 22% dari seluruh pasien yang mengalami hemartrosis (perdarahan sendi). Komplikasi perdarahan organ dalam seperti perdarahan intrakranial (kepala) dapat menyebabkan kematian. Penelitian tentang perdarahan intrakranial (kepala) pada pasien anak dengan hemofilia di RSCM menunjukkan angka kejadian sebesar 7,1% dari 154 pasien di tahun 2007-2010. Komplikasi lain adalah timbulnya inhibitor faktor pembekuan (antibodi terhadap faktor pembekuan darah yang diberikan), sehingga jumlah faktor pembekuan darah yang diberikan tidak dapat bekerja dan perdarahan tetap berlangsung. Penelitian tentang inhibitor faktor VIII di RSCM menunjukkan angka kejadian sebesar 35-37,5% pada pasien hemofilia A berusia kurang dari 18 tahun. Komplikasi terkait transfusi komponen darah/faktor pembekuan adalah infeksi hepatitis B dan C serta HIV, serta infeksi lainnya. Penelitian kejadian infeksi hepatitis C pada pasien hemofilia di RSCM menunjukkan angka sebesar 56,9 – 61 %.
Saat ini HMHI memiliki registri yang mencatat data demografi penyandang hemofilia. Data diperoleh dari 20 cabang HMHI di 20 provinsi dan diperbarui setiap tahun sekali. Pada tahun 2019 ini, HMHI telah mengembangkan aplikasi data registri medik berskala nasional berbasis android yang dapat mencatat data klinis seperti gejala dan frekuensi perdarahan, pengobatan, dan komplikasi sehingga kedepannya akan memudahkan analisis masalah yang ada dan membuat rencana penyelesaian masalah.
Apa itu Hemofilia ?
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah yang terjadi akibat kekurangan faktor pembekuan darah. Hemofilia terdiri dari 2 yaitu hemofilia A, gangguan pembekuan darah akibat kekurangan faktor VIII dan hemofilia B, gangguan pembekuan darah akibat kekurangan faktor IX. Proses terjadinya pembekuan darah pada orang sehat dan penyandang hemofilia dapat dilihat pada gambar berikut.
Ketika seseorang mengalami luka atau perdarahan, sel keping darah akan menempel pada area luka untuk membentuk sumbatan. Di saat yang sama, protein-protein faktor pembekuan darah dan zat-zat lain dalam tubuh akan bekerja untuk membentuk benang-benang yang memperkuat sumbatan dari kepingan sel darah. Benang-benang ini disebut sebagai benang fibrin. Manusia memiliki 13 faktor pembekuan darah dalam tubuh yang membantu proses ini. Instruksi untuk membentuk faktor-faktor pembekuan darah ini berada di dalam genetik manusia. Pada pasien hemofilia, terdapat mutasi (kelainan) pada gen tersebut. Hal ini yang menyebabkan pasien hemofilia A mengalami kekurangan faktor VIII dan hemofilia B mengalami kekurangan faktor IX.
Apa Saja Gejala Hemofilia ?
Gejala yang dialami penyandang hemofilia adalah perdarahan akibat kurangnya faktor pembekuan darah. Perdarahan dapat terjadi di seluruh tubuh, terutama perdarahan otot dan sendi. Perdarahan dapat terjadi akibat adanya trauma termasuk tindakan medis seperti pengambilan darah, vaksinasi, maupun operasi ataupun terjadi spontan tanpa ada pencetus. Kondisi ini tergantung dari faktor pembekuan darah yang dimiliki penyandang hemofilia.